Aku berdiri di
depan sebuah bangunan besar setelah lama aku tidak pernah mengunjunginya.
Mataku kagum menatap bangunan serba besar itu, sebuah masjid dengan kilauan
emas yang terlihat menyejukkan hati, sebuah masjid dengan arsitekturnya yang
tidak pernah kulihat dimana-mana, sungguh indah. Mulutku menganga seperti
memakan bakso besar yang aku sendiri tidak dapat mengunyahnya. Kakiku terasa
kelu, oh inikah bangunan yang dulu, bangunan yang semasa aku masih sekolah, bangunan
tak berwarna, bangunan yang dulunya adalah hanya tanah lapang penuh pepohonan,
bangunan yang masih dalam proses, yang dulunya aku sempat berfikir kalau
bangunan itu akan jadi setelah bertahun-tahun kemudian. Tapi semua pikiran
bodoh itu tidak benar, hari ini aku melihatnya setelah hampir satu tahun
setelah aku meninggalkan pondokku, pondok penuh cinta. Tapi hari ini
benar-benar nyata. Hari ini berubah 100%. Apalagi setelah aku melihat bangunan
elok nan megah ini, aku merasa telah hidup kembali. Pondokku, tempat tinggalku
telah bangkit kembali. oh andaikan aku juga bisa bangkit kembali setelah aku
meninggalkan dunia tulis menulis ini!!!
Mataku masih
melihat nanar kearah masjid super indah itu, terselip pikiran apakah aku bisa
indah sepertinya, apakah aku bisa bangkit sepertinya. oh…andaikan aku bisa
secepat itu.
Sebuah tangan
memegang pundakku, aku melihatnya.
“Kenapa? kaget?
Aku juga sama sepertimu. Mataku tidak bisa beralih dari bangunan indah ini, Aku
sampai mengucapkan subhanallah berkali-kali.” ucapnya lantas tersenyum
kepadaku.
Aku terdiam,
entah aku tidak bisa berkata apa-apa. Ternyata teman dekatku ini juga mempunyai
pikiran yang sama denganku. Lalu ia mengajakku memasuki arena pondok kita dulu.
“Pondok ini
lebih indah dari yang kubayangkan” ucapku kepadanya. Dia hanya membalasnya
sambil tersenyum. Akupun juga ikut tersenyum. Dia memegang pundakku,
merangkulnya. Lalu mengajakku naik ke atas tangga, menyelinap di antara
anak-anak santri yang melihat kita dengan wajah penasaran. Atau bisa dibilang
‘bukankah itu…” tapi mereka hanya berfikiran seperti itu. Tidak ada kata sapaan
atau yang lainnya.
Kami berjalan
melewati kamar-kamar yang berderet, lantainya bersih, mengkilat, tempat sampah
dan rak sepatu di setiap sudut tiap
kamar tertata rapi. Mungkin penjagaan kebersihan tahun ini tertata rapi
ketimbang dulu. Aku berulang kali tersenyum-senyum sendiri.
Temanku
memberhentikan langkahnya di depan pagar yang terbuat dari batu bata itu. Tepat
mengarah pada masjid super indah itu, dia merentagkan tangannya sambil
menghirup nafasnya, lalu seraya mau meneriakkan kata-kata keras tapi yang
keluar hanyalah desahan suara yang terdengar lembut.
“Subhanallah!!!!
ini sungguh luar biasa!!!” ucapnya sambil memejamkan matanya.
Aku tertawa
menahan prilakunya, dia lalu melihatku karena dia merasa terganggu karena
tertawaku yang memang cukup kencang itu.
“Ada yang
salah, aku meneriakkan kata-kata itu!!!” dia tidak terima, wajahnhya terlihat
marah. Aku jadi bersalah kepadanya padahal aku hanya tertawa karena memang
terlihat lucu prilakunya seperti itu.
“Tidak” jawabku
asal.
“Lantas??” dia
tidak terima, seperti polisi yang menanyai tersangka yang tidak mau mengaku.
Aku terdiam,
tidak bisa menjawab pertanyaanya. Sempat ada rasa takut dan bersalah kepadanya,
kenapa aku tadi menertawainya. Bukankah itu suatu hal yang menurutnya
benar-benar kagum. Aku jugapun merasakannya, tapi aku tidak melakukan hal
seperti itu.
Dia tba-tiba
tertawa terbahak-bahak, “takut ya….” ledeknya kepadaku. Aku lalu tersenyum,
lalu memukul punggungnya. Aku dibohongi.
“Beberapa orang
juga berfikiran seperti itu, dia menertawakanku. Menertawakan apa yang
kulakukan ini. Tapi mereka semuanya tidak tahu, mereka memang kagum dengan
masjid ini. Tapi mereka hanya memandanginya, dan membanggakan-banggakannya tapi
tidak merasakannya.”
Aku mencoba
memahami maksud dari ucapannya, tetapi tidak berhasil. Tiba-tiba hpnya
berbunyi, lalu dia pergi dari tempat itu untuk mejawab telfonnya. Aku lalu
melihat kearah masjid itu, kilauan warnanya membentuk cahaya. bangunannya
memperlihatkan tanda kekuatan santri disini. Arsiteknya seperti bicara kalau
pondok ini punya segala jenis kesenian, bakat dan segala bentuk imajinasi dan
inspirasi. Tak terasa air mataku menetes, aku tidak pernah merasakan kedamaian
hati seperti ini. Dan tanganku tiba-tiba terangkat, lalu membentuk sudut
vertical. Mataku terpejam, air mataku menetes kemana-mana. Mulutku bergeming.
“Subhanallah…Subhanallah…Subhanallah…indahnya…..aku
ingin bangkit sepertimu, aku ingin terlihat indah sepertimu, dan aku ingin baik
dipandang sepertimu.” ucapku berkali-kali. Air mataku tidak berhentinya
menetes. Dan sebuah tangan merangkulku dari belakang, aku sontak kaget.
Tanganku langsung jatuh kebawah tanda menahan malu.
“Kenapa?
teruskan wahai sahabatku…aku tidak akan menertawaimu” ucapnya. Dalam lubuk
hatiku yang paling dalam ada rasa kagum kepadanya, ada rasa getaran kecil
ketika mendengar ucapannya. Oh andaikan aku bisa sepertinya.
“Benar katamu,
semuanya tidak bisa di pandangi, dibangga-banggakan tapi dirasakan.” ucapku
akhirnya, dan aku berhasil memahami ucapannya yang tadi sempat membuatku
bingung.
Lalu dia
mengajakku turun dari tempat itu, kami berniat pulang. Sebelum untuk terakhir
kalinya aku bisa melihatnya lagi yang entah sampai kapan aku baru bisa
mengunjungi pondokku itu. Aku mendoakannya dalam hati, mudah-mudahan tempat ini
suatu saat nanti akan menjadi tempat besar, tempat para pencari ilmu, tempat
para orang-orang sukses, dan segala kebaikan berada di dalamnya.
Tak terasa air
mataku menetes lagi tanpa sepengetahuan temanku. Mulutku bergeming “aku ingin
bangkit kembali, harus!!!!”
0 komentar:
Posting Komentar